Fedra si monster cantik, sedang maraahhh sekali dan menjerit sekeras mungkin semua hal yang sangat sangat jelek, kau takkan mau membayangkannya. Fedra tak bisa berhenti, walaupun dia melihat wajah Ibu Imi yang terpana ngeri. Jauh dalam hatinya Fedra tahu dia telah berbuat salah, karena hanya satu kali air muka Ibu Imi tampak seperti sekarang. Yaitu ketika Ayah Eri memakan semua jatah kerupuk yang digoreng Ibu Imi untuk Kakek Kadi dan Nenek Cici, padahal Ibu Imi sudah menggoreng 500 keping kerupuk seharian! Bayangkan, lima ratus keping!
Ketika akhirnya Fedra berhenti, hatinya terasa ciut dan tidak enak sekali. Apalagi karena Ibu Imi terus terdiam dengan wajah seperti itu.
"Kamu tahu, Fedra," akhirnya Ibu Imi berkata dengan susah payah menahan marah dan sedih. "Hanya anak monster amat sangat jeleklah yang bicaranya seperti kamu tadi!"
"Ibu jahat! Fedra tidak jelek, Fedra cantik!" Fedra memang sadar sekali kalau dirinya merah muda, ungu dan cantik. Makanya ia selalu menangis dan ketakutan kalau dibilang jelek.
"Lihat saja nanti, kalau kamu terus bicara jelek seperti tadi, pasti kamu nantinya akan jadi monster besar yang super jelek!" kata Ibu Imi dengan mata melotot.
"Ibu bohong!" teriak Fedra sambil berlari ke kamarnya. Ia membanting pintu keras-keras, sampai semua gambar yang ada di dinding berjatuhan. Kamu tahu kan, monster itu sangat kuat tenaganya. Bahkan monster mungil sekalipun.
Sampai malam Fedra mengurung diri di kamar, berbaring di tempat tidur. Tapi hingga larut malam ia tidak bisa tidur. Bolak-balik ia berkaca di meja riasnya, karena ia benar-benar takut akan menjadi jelek. Apalagi sejelek hal-hal yang diteriakkannya tadi. Hiii! Fedra menangis terus-menerus. Sebab selain takut jelek, ia juga sebenarnya merasa bersalah akan perbuatannya. Tapi kan, Ibu Imi benar-benar menjengkelkan! Fedra HARUS SELALU makan bolu, tiap orang, eh, monster juga sudah tahu itu!
Tiba-tiba pintu kamar Fedra terbuka perlahan. Ayah Eri baru pulang dari kantor (PT Monsta Sentosa, perusahaan Desa Monsta), larut malam seperti biasa. Ayah Eri selalu tidak tega bila Fedra menangis, apapun alasannya. Jadi Fedra memeluk Ayah Eri dan menceritakan semuanya, sampai merasa lebih tenang dan lega. Dan hampir-hampir melupakan rasa bersalahnya. Ayah Eri saja tidak marah, malah terus membujuk dan menghibur Fedra. Jadi teriakanku pasti tidak seburuk itu! Begitu pikir Fedra. Ibu Imi memang suka berlebihan.